Hadis dan ilmu hadis telah menjadi subyek pembelajaran dalam dunia Islam secara berabad-abad. Pada mulanya, pembelajaran hadis bersifat individual dalam arti sangat berpusat pada sosok ulama. Sejak abad ke-6 Hijriah, muncul institusi yang secara khusus menawarkan kajian hadis seperti Dar al-Hadith al-Asyrafiyyah dengan guru besarnya yang terkenal Ibnu ‘Asakir (w. 570 H.), Ibnu Shalah (w. 643 H.) dan al-Nawawi (w. 676 H.) di Damaskus, Suriah (Muthi’: 2010).
Pada era modern, hadis dan ilmu hadis dipelajari di berbagai perguruan tinggi. Secara khusus Universitas al-Azhar di Mesir menjadi pionir pembukaan jurusan Tafsir Hadis sejak tahun 1920-an. Hal ini disusul Arab Saudi pada tahun 60-an yang membuka Qism as-Sunnah wa ‘Ulumuha. Indonesia dengan berkiblat kepada Universitas al-Azhar mulai membuka jurusan Tafsir Hadis pada tahun 90-an. Namun demikian, pada tahun 2012-an, pemerintah Indonesia menerbitkan aturan yang memisahkan jurusan Al-Quran-Tafsir dan Hadis-Ilmu Hadis.
Pasca pemisahan jurusan Tafsir Hadis (TH) menjadi jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT) dan Ilmu Hadis (IH) pada tahun 2012 (PMA 1429/2012). muncul tanggapan yang bernada skeptis. Salah satunya, kesimpulan riset Prof. Suryadi yang melakukan penelitian pada tahun 2014, dimana ia menyatakan bahwa pemisahan tersebut berdampak pada kecilnya peluang untuk berkembang bagi jurusan Ilmu Hadis (has a little prospect to develop in the future) (Suryadi: 2014).
Sekalipun dibayangi skeptisisme, mendekati satu dekade setelah pemisahan jurusan tersebut, muncul sinyal positif. Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri mengemukakan hal itu pada tahun 2018 dalam penelitian keduanya (Wahid: 2018). Dalam sejumlah data mutakhir, memang perkembangan Prodi Ilmu Hadis tumbuh cukup signifikan, baik dari segi peminat maupun pembukaan jurusan baru di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia. Lebih detail, pertumbuhan signifikan itu setidaknya dibuktikan dengan tiga hal. Pertama, semakin bertambahnya perguruan tinggi yang membuka jurusan Ilmu Hadis. Berdasarkan data dari Forlap Kemendikbud, pada awal 2022, telah dibuka sebanyak 52 Prodi Ilmu Hadis di perguruan tinggi Islam (Kemendikbud).
Kedua, berdirinya asosiasi akademisi dan praktisi Ilmu Hadis sebagai instrumen pendukung pengembangan Prodi. Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) yang telah berdiri sejak 2016, memiliki tidak kurang 250 orang akademisi dan praktisi ilmu hadis (www.asilha.com).
Ketiga, jumlah mahasiswa Ilmu Hadis semakin bertambah pada tiap tahunnya. Sebagai contoh adalah Prodi Ilmu Hadis UIN Jakarta. Pada tahun pertama dibuka 2016, ditemukan sebanyak 65 orang mahasiswa. Data mahasiswa pada tahun 2021, menyebut angka 425 orang mahasiswa (Kemendikbud). Jumlah lebih tinggi ditemukan pada Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pada tahun pertama dibuka, terdapat 65 mahasiswa. Pada tahun 2021, ditemukan 534 orang mahasiswa (kemendikbud). Data ini cukup menggembirakan sekalipun tidak seperti jurusan lain, khususnya jurusan ilmu umum di lingkungan perguruan tinggi Islam. Dengan demikian, Prodi Ilmu Hadis sebenarnya memiliki sejumlah variabel yang dapat dijadikan landasan pengembangan.
Semakin banyaknya perguruan tinggi Islam negeri dan swasta yang membuka jurusan Ilmu Hadis menyisakan persoalan baru mengenai kualitas lulusan, selanjutnya kualitas pengembangan ilmu hadis, di masa yang akan datang. Dimana belum ada lembaga yang secara berkelanjutan memberikan dukungan untuk meningkatkan kualitas kesarjanaan hadis dan ilmu hadis di Indonesia. Dalam konteks inilah, El-Bukhari Institute bekerja sama dengan Ali Mustafa Yaqub Institute (AMY Institute) mengembangkan program dukungan pengkajian hadis dan ilmu hadis. Program ini berbentuk supervisi kesarjanaan studi hadis, penguatan kapasitas peneliti, dukungan pendanaan perkuliahan, penulisan skripsi dan tesis yang secara simultan dihubungkan dengan gerakan filantropi.
Adapun ketentuan dan prosedur penerima beasiswa silahkan kunjungi informasi yang tercantum dalam poster berikut ini: